Pekerjaan sebagai influencer terkenal seperti YouTuber Mr. Beast, hingga pesohor media sosial dalam negeri, Raffi Ahmad, menjadi impian banyak orang.
Namun, ternyata dunia kreator konten tak seindah yang terlihat di layar HP Anda. Industri tersebut sudah makin sesak dan memunculkan persaingan sengit untuk mendapat cuan.
Platform pun tak seroyal dulu memberikan komisi ke para kreator konten. Para brand kawakan juga lebih pilih-pilih untuk bekerja sama dengan influencer.
Setidaknya begitu menurut laporan The Wall Street Journal. Salah satu contohnya adalah Clint Brantley yang merupakan kreator konten full-time sejak tiga tahun lalu.
Brantley membagikan konten ke TikTok, YouTube, dan Twitch. Kebanyakan kontennya seputar tren yang berkaitan dengan game mobile Fortnite.
Meski memiliki lebih dari 400.000 follower dengan rata-rata view pada kontennya lebih dari 100.000, penghasilan Brantley pada tahun lalu lebih kecil daripada gaji median tahunan pekerja full-time di AS pada 2023 sebesar US$ 58.084 atau Rp 950 jutaan.
Pria berusia 29 tahun itu tak siap berkomitmen untuk menyewa apartemen karena penghasilannya yang tak tetap. Saat ini, Brantley masih tinggal dengan ibunya di Washington. “Saya sangat rentan,” ujarnya, dikutip dari The Wall Street Journal, Sabtu (26/10/2024).
The Wall Street Journal menuliskan bahwa meraih penghasilan yang layak dan dapat diandalkan sebagai kreator konten adalah hal yang sulit, dan akan makin sulit.
Platform makin lama makin kecil membagikan uang untuk unggahan populer. Di sisi lain, para brand lebih spesifik memilih kesepakatan dengan influencer.
Kondisi ini diperparah dengan ancaman TikTok diblokir di AS pada 2025 mendatang. Banyak kreator konten yang waswas apakah masih bisa meraup penghasilan dari media sosial jika salah satu channel sumber uangnya dihapus.
Industri Influencer Makin Sesak
Menurut laporan Goldman Sachs pada 2023, ratusan juta orang di seluruh dunia mengunggah konten yang menghibur dan mengedukasi di media sosial. Sekitar 50 juta orang mengumpulkan uang dari sana.
Bank investasi tersebut memperkirakan jumlah kreator yang menghasilkan pendapatan akan tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 10% hingga 20% pada tahun 2028.
Hal ini berkontribusi pada penambahan jumlah pencari nafkah, meski Departemen Tenaga Kerja tidak melacak gaji para influencer.
Secara rata-rata, kreator konten butuh waktu bulanan bahkan tahunan untuk mengumpulkan pendapatan dari platform media sosial, kerja sama brand, hingga link affiliate. Namun, makin banyak yang mencari rezeki dari industri ini, makin kecil pula ‘kue’ yang harus dibagi-bagi.
Menurut NeoReach, pada tahun lalu 48% influencer mengumpulkan kurang dari US$ 15.000 atau Rp 245 jutaan. Hanya 14% yang mengumpulkan uang lebih dari US$ 100.000 atau Rp 1,6 miliar.
Ketimpangan pemasukan influencer ini ditentukan beberapa faktor. Misalnya apakah influencer bekerja secara full-time atau part-time, tipe konten yang dibagikan, hingga durasi mereka berkarir sebagai influencer.
Beberapa orang yang terkenal saat pandemi Covid-19 dan fokus pada topik yang populer seperti fesyen, investasi, dan hack gaya hidup, mengaku sangat terbantu karena momentumnya pas.
Namun, di balik itu semua, kreator konten mengaku pekerjaan ini sangat menguras energi dan mental. Mereka harus selalu memikirkan konten apa yang akan disukai audiens dan mengambil momentum yang tepat.
Influencer menghabiskan waktu berhari-hari untuk merencanakan konten, memproduksi, hingga melalui proses edit untuk diunggah ke media sosial. Mereka juga harus selalu berinteraksi dengan para fans untuk menjaga popularitas.
“Ini adalah pekerjaan yang sangat berat dibandingkan apa yang dikira kebanyakan orang,” kata analis Emarketer, Jasmine Enberg.
“Kreator yang bisa hidup dengan menjadi influencer telah melakukan pekerjaan ini selama bertahun-tahun. Kebanyakan tak jadi besar dalam waktu singkat,” kata analis tersebut.
Terlebih lagi, para influencer yang bekerja secara mandiri tidak mendapatkan keuntungan seperti pekerja kantoran. Merak tak mendapatkan jaminan kesehatan, uang pensiun, serta bonus tahunan.
Di tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi, influencer menghadapi tekanan yang kian sulit untuk mengamankan keuangan mereka.
Penghasilan dari Platform Makin Kecil
Pada 2020-2023, TikTok memiliki program pendanaan untuk kreator hingga US$ 1 miliar. YouTube melalui fitur Shorts juga memungkinkan kreator menghimpun uang sekitar US$ 100-10.000 per bulan dengan program pendanaan sementara.
Lalu, Instagram Reels memberikan penghargaan ke kreator dalam jumlah yang fluktuatif. Bonus besar itu menjadi taktik agar makin banyak orang membuat konten di platform mereka.
Namun, kini platform mulai mengubah kebijakan pembayaran untuk kreator konten. Ketentuan untuk penghasilan TikToker kini diperbanyak. Setidaknya harus memiliki 10.000 follower dengan view minimum 100.000 dalam sebulan.
Instagram juga tengah menguji coba program ‘invitation-only’ yang memberikan penghargaan uang bagi kreator yang membagikan Reels dan foto.
YouTube memperkenalkan program pembagian uang iklan pada tahun lalu untuk kreator Shorts yang memiliki setidaknya 1.000 subscriber dan 10 juta view dalam 90 hari. Mereka akan diberikan pembagian pendapatan iklan 45% untuk konten yang mereka bagikan.
Makin lama, TikToker mengaku makin susah cari duit. Salah satunya Ben-Hyun yang mengatakan pada Maret lalu mendapatkan US$ 200-400 per satu juta view. Namun, kini pendapatannya kian menurun meski follower-nya bertambah banyak hingga 2,9 juta.
Ben-Hyun mengaku kini hanya mendapat US$ 120 untuk video yang menghimpun 10 juta view. Hal ini menunjukkan, meski influencer memiliki audiens banyak, tetap sulit untuk memonetisasinya jika hanya berharap pada pendapatan dari platform.
Danisha Carter juga membagikan keresahan serupa. Ia mengatakan TikTok-nya memiliki 1,9 juta pengikut.
Menurutnya, para konten kreator berhasil membuat audiens ‘ketagihan’ di platform online dan mendatangkan pendapatan miliaran dolar AS ke TikTok dkk.
Namun, bayaran untuk influencer tak setimpal. Ia mengaku mendapatkan pendapatan dari TikTok dengan total US$ 12.000. Untuk menambah pendapatan, ia memutuskan membuat merchandise dan mampu menghasilkan uang US$ 5.000 pada tahun lalu.
“Kreator harus dibayar adil dengan persentase yang sesuai dengan pendapatan yang diraih aplikasi,” kata Carter.
“Harus ada transparansi soal bagaimana kami dibayar, dan kebijakannya harus konsisten,” ia menyarankan.