Pemerintah Tokyo, Jepang akan menerapkan sistem kerja empat hari dalam sepekan bagi pegawai negeri mulai April mendatang. Kebijakan ini bertujuan membantu para ibu bekerja sekaligus meningkatkan angka kelahiran yang mencapai rekor terendah.
Melansir CNN International, kebijakan baru tersebut membuat pegawai negeri dapat menikmati tiga hari libur setiap pekan. Selain itu, orang tua dengan anak di kelas satu hingga tiga sekolah dasar dapat memilih untuk pulang lebih awal dengan konsekuensi pemotongan sebagian gaji.
Gubernur Tokyo Yuriko Koike menyatakan, kebijakan ini akan memberikan fleksibilitas dalam pola kerja. “Kini adalah waktu bagi Tokyo untuk melindungi dan meningkatkan kehidupan, mata pencaharian, serta perekonomian masyarakat di tengah tantangan besar yang dihadapi bangsa ini,” ungkap Koike dalam pidatonya, dikutip Sabtu (7/12/2024).
Angka kelahiran Jepang terus menurun dan mencetak rekor baru pada Juni lalu, meskipun berbagai upaya pemerintah telah dilakukan. Tahun lalu, hanya tercatat 727.277 kelahiran dengan tingkat fertilitas 1,2 anak per perempuan, jauh di bawah angka ideal 2,1 untuk menjaga stabilitas populasi.
Pemerintah Jepang gencar mendorong kebijakan “sekarang atau tidak sama sekali” guna mengatasi krisis populasi. Kebijakan ini mencakup dorongan bagi pria untuk mengambil cuti ayah dan perbaikan kondisi kerja di berbagai daerah.
Sosiolog menyebut budaya kerja Jepang yang keras sebagai salah satu penyebab rendahnya angka kelahiran. Jam kerja yang melelahkan sering kali memicu masalah kesehatan, bahkan dalam kasus ekstrem dapat menyebabkan “karoshi” atau kematian akibat kerja berlebihan.
Perempuan di Jepang kerap menghadapi tekanan untuk memilih antara karier atau keluarga. Budaya lembur yang kuat membuat kehamilan dan pengasuhan anak menjadi tantangan besar, terlebih dengan kesenjangan partisipasi tenaga kerja antara pria dan wanita yang mencapai 17% tahun lalu, menurut Bank Dunia.
Sistem kerja empat hari ini menarik perhatian negara-negara Barat yang mulai menguji jam kerja lebih singkat demi keseimbangan kerja dan kehidupan. Studi menunjukkan langkah ini dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja.
Namun, di Jepang, gagasan ini masih dianggap radikal karena budaya kerja yang mengaitkan loyalitas dengan waktu di kantor. Tokyo bukan satu-satunya yang menerapkan kebijakan ramah keluarga, karena sebelumnya Singapura juga memperkenalkan panduan baru untuk fleksibilitas kerja.