Upaya Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol untuk mendeklarasikan darurat militer membuat mendidih banyak pihak di negara tersebut. Pasalnya, intervensi militer dalam urusan sipil masih menjadi topik yang sensitif di Negeri Ginseng.
Melansir The Guardian, Rabu (4/12/2024), Korsel terakhir kali mendeklarasikan darurat militer pada tahun 1980. Saat itu ratusan orang dibunuh oleh diktator militer Chun Doo Hwan, yang mengirim pengunjuk rasa ke kamp konsentrasi untuk “pendidikan pemurnian”.
Yoon sendiri acapkali memberikan pujian tentang Chun. Tiga tahun lalu ia sempat mengklaim bahwa banyak orang menganggap jenderal itu telah berhasil dalam politik selain dari kudeta dan penumpasan protes.
Akibatnya, Yoon dipaksa untuk mengeluarkan permintaan maaf dan mengunjungi tugu peringatan di Gwangju untuk pembantaian terbesar di era Chun, tetapi banyak kritikusnya yang skeptis tentang ketulusan pencabutan pernyataannya.
John Nilsson-Wright, kepala program Jepang dan Korea di Universitas Cambridge, menyebut langkah Yoon dilakukan karena alasan pribadinya, bukan karena ia ingin bernostalgia dengan kepemimpinan otoriter.
“Fakta bahwa ia bertindak seperti ini menurut saya tidak mencerminkan nostalgia yang kuat dari pihak kanan terhadap gaya kepemimpinan otoriter. Saya pikir itu mencerminkan kepribadian Yoon,” ujar John.
“Momentum politik sudah mulai menjauh dari presiden, yang mungkin menjadi alasan ia memutuskan untuk bertindak seperti ini. Namun, itu adalah keputusan yang sembrono dan sangat keliru, dan saya menduga itu akan menjadi bumerang, jika indikator awal dapat dijadikan acuan,” tambahnya.
Deklarasi darurat militer yang berumur pendek oleh Yoon terjadi lantaran ia ‘putus asa’ dalam menghadapi popularitas publik yang sangat rendah, dengan peringkat positif hanya sedikit di atas 10%. Ini juga terjadi di tengah pemogokan dokter dan oposisi politik yang keras.
Yoon mungkin berpikir bahwa langkatnya dalam mengumumkan dekrit darurat militer akan beresonansi dengan setidaknya sebagian dari spektrum politik Korea Selatan, tetapi rupanya ia salah perhitungan.
Majelis Nasional dengan suara bulat berhasil membatalkan deklarasinya hanya dalam beberapa jam, termasuk oleh partainya sendiri. Ini terjadi meski pasukan militer sudah mengepung gedung parlemen. Dalam beberapa jam, ia dipaksa untuk mundur, dan darurat militer secara resmi dicabut setelah rapat kabinet.
“Bagi seorang presiden yang terlalu berfokus pada reputasi internasional Korea Selatan, hal ini membuat Korea Selatan tampak sangat tidak stabil,” kata Mason Richey, seorang profesor di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul, seperti dikutip Reuters.
“Hal ini akan berdampak negatif pada pasar keuangan dan mata uang serta posisi diplomatik Korea Selatan di dunia.”
Sebelumnya pemimpin partai konservatif, Han Dong Hoon, yang menyebut keputusan Yoon itu “salah” dan bersumpah untuk “menghentikannya bersama rakyat.”
“Rakyat akan memblokir langkah anti-konstitusional presiden. Militer harus berada di pihak publik dalam hal apapun. Mari kita lawan dengan tegas,” tulis Kim Dong Yeon, gubernur partai oposisi provinsi Gyeonggi di media sosial X.