Ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) menghantui perekonomian global. Berbagai indikator ekonomi AS semakin memburuk terlihat dan memicu kekhawatiran pelaku pasar.
Pergerakan pasar saat ini cenderung bergerak lebih volatil lantaran bursa saham dunia banyak berguguran di tengah ancaman resesi AS, terutama setelah rilis data pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam yang melambat tajam.
Bursa saham dunia berbalik dengan cepat pada pekan lalu. Sinyal pemangkasan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) pada Rabu waktu AS (31/7/2024) membuat pasar saham dunia hijau tetapi data ekonomi AS yang memburuk membuat pasar saham goyang. Hampir seluruh bursa dunia berakhir di zona merah pada Jumat pekan lalu setelah adanya kekhawatiran resesi AS serta penjualan besar-besaran saham teknologi.
Bursa AS Wall Street ambruk berjamaah pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (2/8/2024). Indeks Dow Jones ambruk 1,51% sementara indeks Nasdaq jeblok 2,43% dan indeks S&P 500 jatuh 1,51%.
Bursa Eropa juga kebakaran pada Jumat pekan lalu dan masih berlanjut hingga hari ini, Senin (5/8/2024). Pada Senin sore pukul 16.31 WIB, indeks FTSE yang ada di London, Inggris melemah 2,15%,, indeks DAX Jerman ambles 2,23% dan indeks CAC Prancis jatuh 1,92%.
Bursa Asia juga menjadi lautan merah pada Jumat pekan lalu dan hari ini. Pada perdagangan hari ini, Senin (5/8/2024), indeks Nikkei Jepang menjadi yang terparah dengan anjlok 12,4%.
Indeks KOSPI korea juga ambles 8,77% sementara Indeks Taiwan ambruk 8,353%. Indeks Hang Seng China anjlok 1,46%, indeks Strait Times Singapura jatuh 4,22%, dan Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) jeblok 3,4%.
Tidak sampai disitu, ketidakpastian pasar yang meningkat ini juga tercermin dari Volatility Index (VIX), barometer untuk ukuran volatilitas pasar yang diharapkan, sering juga disebut sebagai “indeks kepanikan”.
Semakin tinggi nilai indeks VIX, maka ketidakpastian di pasar semakin meningkat. Melansir data dari google finance, per Jumat (2/8/2024), VIX index berada di angka 23,39, dalam sepekan naik 39%.
Ancaman resesi di AS semakin bold setelah survei dari CME FedWatch Tool menunjukkan bahwa pada Federal Open Meeting Committee (FOMC) September mendatang, pelaku pasar berekspektasi terjadi pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps).
Sedangkan sebagian pelaku pasar meyakini terjadi penurunan sebesar 25 bps pada pertemuan tersebut.
Foto: Meeting Probabilities Sumber: CME FedWatch Tool |
Jika cut rate terjadi dengan membabi buta dan dengan tempo yang sangat cepat, justru hal ini akan memberikan kepanikan tersendiri bagi pelaku pasar karena hal ini semakin menunjukkan bahwa kondisi ekonomi AS sedang tidak baik-baik saja dan berujung pada kepanikan serta sell off dari pasar keuangan.
Ancaman Resesi AS
Resesi ekonomi menjadi hantu menyeramkan bagi seluruh negara di dunia. Ekonomi dunia saat ini memang sedang baik-baik saja, terutama selepas pandemi Covid-19 mereda.
Melihat laporan perkembangan ekonomi global yang mengkhawatirkan terkhusus dari AS, semakin sadar bahwa jurang krisis dan resesi ada di depan mata.
Untuk diketahui, resesi ekonomi dapat diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Resesi ekonomi bisa memicu penurunan keuntungan perusahaan, meningkatnya pengangguran, hingga kebangkrutan ekonomi.
Secara teknis, resesi terjadi ketika ekonomi terkontraksi dalam dua kuartal beruntun. Pada 2020 lalu dunia mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, menyebabkan berkurangnya lapangan kerja dan banyak pegawai dirumahkan. Tanpa aktivitas dan mobilitas manusia, roda ekonomi pun macet.
Perlambatan ekonomi AS yang terjadi pada data kuartal II-2024 juga menjadi hal yang menakutkan pasar.
Tercatat ekonomi AS tumbuh sebesar 2,8% secara quarter on quarter/qoq pada kuartal kedua. Namun, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal III dan kuartal IV-2023 yang masing-masing berada di angka 4,9% dan 3,4% qoq.
Dampak ke Indonesia
Pengamat Pasar Modal, Hans Kwee bahwa pasar saat ini khawatir terkait perlambatan ekonomi AS yang dapat menyebar ke negara lainnya.
“Pasar khawatir perlambatan ekonomi AS menyebar juga ke negara lain. The Fed terlambat memotong bunga. Data-data manufaktur dan pasar tenaga kerja AS sangat lemah,” papar Hans.
Jika perlambatan ekonomi AS benar terjadi, maka hal ini akan berdampak pada menurunnya jumlah ekspor barang Indonesia ke AS.
Permintaan yang cukup rendah dari AS akan mengganggu aktivitas bisnis di Indonesia yang berujung pada sulitnya perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS sebesar 10,02% pada Juni 2024 atau sebesar US$1,97 miliar.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode Mei 2024 yang sejumlah US$2,18 miliar.
Sejak 2000 hingga 2023 atau 24 tahun terakhir, AS mengalami resesi sebanyak empat kali, yakni pada 2008, 2009, 2020, dan 2022. Namun, pejabat AS. termasuk Menteri Keuangan Janet Yellen menolak AS memasuki resesi karena secara indikator masih kuat. Ekonomi AS hanya mengalami resesi teknikal dengan mengalami kontraksi secara kuartalan pada kuartal I-2022 dan kuartal II-2022.
Di saat AS mengalami resesi, ekspor Indonesia ke AS mengalami penurunan khususnya pada 2009 yakni dari US$13,03 miliar menjadi US$10,85 miliar. Namun cukup berbeda dengan 2020 yang justru mengalami kenaikan dan pada 2023 atau satu tahun setelah resesi, ekspor Indonesia mengalami penurunan menjadi US$23,34 miliar dari yang sebelumnya US$28,18 miliar.
Investasi AS di Indonesia lewat Penanaman Modal Asing (PMA) yang dicatat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mengalami penurunan ketika AS mengalami resesi yakni pada 2020.
Pada 2020, PMA AS ke Indonesia hanya sebesar US$0,75 miliar atau menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang sempat menyentuh nyaris US$1 miliar.
Namun ketika AS keluar dari resesi, PMA AS ke Indonesia melonjak dengan sangat signifikan yakni sebesar 237% menjadi US$2,53 miliar pada 2022.