Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM) menyebut ada 50% impor tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China yang masuk ke Indonesia secara ilegal, atau tidak tercatat. Hal ini sebagaimana diungkapkan Plt. Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, Temmy Setya Permana.
“Angka pada data ekspor barang dari China ke kita, dengan nilai angka impor kita tidak seimbang. Artinya, kita menduga ini ada indikasi produk yang masuk secara ilegal, tidak tercatat,” katanya dalam Diskusi Media di Kantor KemenKopUKM, Selasa lalu dikutip Kamis (8/8/2024).
Berdasarkan data dari internal KemenKopUKM dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada tahun 2021 nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp58,1 triliun. Sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp28,4 triliun. Artinya, ada potensi nilai yang tidak tercatat sebesar Rp29,7 triliun.
Kemudian pada tahun 2022, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp61,3 triliun. Sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp31,8 triliun. Maka, potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp29,5 triliun.
Maka apabila ditotal maka potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp59,2 triliun.
“Potensi impor yang tidak tercatat ini terbesar pada HS (60-63) berupa pakaian jadi,” imbuhnya.
Menurutnya, produk impor yang tidak tercatat itu membuat produk UMKM dalam negeri sulit bersaing. Pasalnya, barang-barang tersebut masuk secara ilegal dan tanpa dikenakan bea masuk, sehingga produk tersebut bisa dijual dengan harga yang murah.
Ia pun lantas mensimulasikan dampak yang akan timbul bila kondisi tersebut tak segera ditangani dengan baik. Mulai dari hilangnya potensi serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan sekitar Rp2 triliun per tahun, sampai dengan potensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) multi sektor sebesar Rp11,83 triliun.
“Kemudian kerugian negara pada sektor pajak sekitar Rp6,2 triliun, terdiri dari pajak Rp1,4 triliun dan Bea Cukai Rp4,8 triliun,” tutup Temmy.
Sebelumnya, Di hadapan Komisi VII DPR RI, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengungkapkan, adanya selisih data impor yang signifikan untuk pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) dan produk lainnya (HS 63).
Di mana berdasarkan datanya, Indonesia mengimpor ke China pada kuartal I-2024 untuk kode HS 61 senilai US$ 118,87 juta, kode HS 62 senilai US$ 87,75 juta, dan kode HS 63 senilai US$ 116,36 juta. Sementara berdasarkan data laporan China ekspor ke Indonesia, kode HS 61 senilai US$ 269,57 juta, kode HS 62 US$ 247,68 juta, dan kode HS 63 US$ 366,23 juta.
Data tersebut, lanjut dia, menunjukkan adanya impor yang tidak tercatat, sehingga menyebabkan selisih pencatatan data yang cukup besar. Di mana untuk selisihnya, ungkap Jemmy, kode HS 61 selisihnya sebesar US$ 150,70 juta, kode HS 62 selisihnya sebesar US$ 159,93 juta, dan selisih impor untuk kode HS 63 sebesar US$ 249,87 juta.
“Selisih pencatatan yang kita tidak tahu kenapa selisihnya cukup lebar, kalau kita lihat dari deklarasi harganya itu hanya sepertiga,” kata Jemmy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (10/7/2024).
Menurutnya, ketimpangan yang terjadi antara data impor Indonesia dengan data laporan ekspor Chia menunjukkan tanda bahaya, di mana ketahanan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional menjadi tidak terjaga, dan Indonesia mengalami kerugian yang serius.
“Ya jadi bisa kita bayangkan kenapa industri TPT satu-satu berguguran,” pungkasnya.